Life is too short. Yesterday gone tomorrow. You go sleep tonight, and the next morning you might be dead! Life is too short…,” ucap seorang bapak tua berumur 70 tahun yang kutemui semalam dalam perjalanan pulang menggunakan kereta api. Bapak tersebut terlihat setengah mabuk, meskipun demikian dia masih mampu menjaga sikapnya. Dia bersama seorang temannya, seorang pria berumur 47 tahun.Asyik juga dalam perjalanan kereta api malam bertemu dengan orang asing dan mendapat teman bicara sehingga perjalanan tidak terasa membosankan.“Life is too short. That’s what he always say to me. What do you think? Do you agree with that?” tanya pria paruh baya itu kepadaku.Kaget juga saya dengan pertanyaannya. Rasanya kalau mau menjawab dengan serius akan terjadi diskusi yang panjang, karena dari penjelasan pria paruh baya itu ada perbedaan pemahaman diantara keduanya.“Life is too short…so just do your best,” kataku menanggapi, sambil terus menanggapi dua orang asing berbeda usia dan pandangan hidup, namun mereka berdua bersahabat.Sang bapak tua adalah teman sang ayah dari pria paruh baya itu. Sang pria paruh baya bercerita kalau sang bapak tua itu yang sering memberi dia semangat karena dia selalu hidup dalam situasi yang ekstrim, up and down katanya.
Hidupnya tidak pernah berada dalam keadaansteady atau ditengah-tengah, kalau tidak di puncak, maka ada di bawah, dan sebaliknya. Dan hal ini memberi pengaruh psikologis yang cukup kuat baginya.“Maybe your expectation is too high so it’s hard for you to take it when it went wrong or when you didn’t get what you want as you have expected to,” kataku sedikit menanggapi curhatannya.“Maybe…yes…maybe,” jawab pria paruh baya itu dengan senyum penuh keprihatinan akan dirinya sendiri.“Life is too short. You sit here now, go to bed later, and tomorrow you never wake up!” celoteh bapak tua entah menanggapi atau sekedar interupsi karena berada dalam pengaruh alkohol.Sang pria paruh baya hanya tersenyum melihat kelakuan sang bapak tua sambil terus berusaha memahami perkataan sang bapak. Mungkin dia berpikir sang bapak tua ini berkata demikian dengan tujuan nikmatilah hidup ini dengan pergi minum bir di pub atau kegiatan hura-hura lainnya, padahal tidak seperti itu rasanya. Dia lebih bermaksud untuk tidak mempunyai kekhawatiran yang berlebihan.
Bisa jadi sang bapak berkata demikian terkait pengalaman hidupnya sendiri dimana sang istri meninggal dua tahun yang lalu secara tiba-tiba dan sejak saat itu dia selalu mengunjungi makam sang istri setiap harinya. Ini sesuai penuturan sang pria paruh baya yang diamini oleh sang bapak tua.Karenanya saya mencuri kesempatan dengan berkata,” You probably are worry too much.”Sambil berkata demikian, tak lupa saya melemparkan senyum ke dia hanya untuk sekedar memberi ketenangan baginya.“Do you feel the same sometimes? Up and down?” tanya sang pria paruh baya lagi.“Well…that’s life, isn’t it? Sometimes I feel it as well and obviously it makes me worry. But then I leave it to God. I believe in Him. I thank Him for whatever problem or event I face in my life,”jawabku sambil tersenyum.“So you are steady then?”“So..so..not too bad. There is always a fluctuation, but it’s not too extreme.”Lalu kami bertiga pun tersenyum satu sama lain.Ingin rasanya mencari tahu apa yang menjadi keresahan sang pria paruh baya.
Hanya saja keinginan ini kubatalkan karena bisa jadi urusannya panjang.Aku hanya bisa merenung memikirkan percakapan-percakapan kami. Sang pria paruh baya dengan segala kecemasannya yang tak pernah mengalami ketenangan jiwa. Secara fisik, dia bukanlah orang yang berkekurangan, tetapi entahlah bagaimana dengan kehidupan dia yang sebenarnya. Meski bibirnya mengukir sebuah senyuman, namun matanya menyiratkan duka.Sementara nun jauh di Indonesia sana, terdengar Tembang Sunyi Perempuan Merapi, “Duh, Gusti ingkang paring panguripan. Aku ini hanya tinggal menunggu giliran. Aku tidak ingin berlari.”[1]Ah, Tuhan! Hidup ini memang penuh dengan rasa humor yang tinggi. Disini kubertemu dengan seorang pria yang penuh dengan kecemasan meski sistem telah mendukung dan menjamin kehidupannya, sementara dibelahan dunia yang lain meskipun sedang tertimpa bencana, dia masih sanggup memujimu, [2]Gusti ingkang murbeng dumadi, [3]Gusti ingkang paring panguripan.Renunganku buyar manakala kedua orang asing tersebut pamit turun pada stasiun tujuan mereka.“OK girl, you look after yourself. Becareful,” kata bapak tua mengingatkan aku sambil mengedipkan matanya.“OK love, it’s nice to meet you. Hope to see you sometimes and take care of yourself,” timpal sang pria paruh baya sambil menjabat erat tanganku.“Thank you, guys. It’s nice to meet you both as well and thanks for your companion,” balasku tersenyum.Hmmmm….pertemuan sekilas yang membawaku pada satu rasa syukur yang hanya aku dan Dia yang tahu.Sebuah perjalanan dengan kereta malam, namun kali ini bukan seorang ibu yang duduk dihadapanku…